SYAR’U MAN QOBLANA (SYARI’AT SEBELUM
KITA)
1. Hukum
Syari’at Sebelum Kita
Syari’at
Man Qoblana adalah syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad
(Islam) atau syari’at yang
telah diturunkan Allah SWT kepada orang-orang yang telah mendahului kita.
Apabila
Al-Quran atau Sunnah yang shahih menceritakan salah satu hukum syara’ yang
telah disyari’atkan kepada umat terdahulu melalui para Rasul kemudian nash
tersebut diwajibkan kepada kita sebagaiman diwajibkan kepada mereka, maka dalam
hal ini tidak ada perbedaan pendapat dan tidak ada keraguan lagi bahwa syari’at
tersebut ditujukan juga kepada kita dan wajib untuk diikuti, sebagaimana firman
Allah SWT dalam surah Al-Baqarah : 183
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya
:
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu, agar kamu bertakwa.”
(QS.
Al-Baqarah: 183)
Sebaliknya, bila
dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu,
namun hukum tersebut telah dihapuskan untuk kita, para ulama sepakat bahwa
hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa bahwa
seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan
membunuh dirinya sendiri. Dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak
akan suci kecuali dengan memotong anggota badan tersebut dan lain sebagainya.[1]
2. Pendapat
Para Ulama tentang Syariat Sebelum Kita
Para
ulama telah menyepakati syariat terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa
penetapan atau penghapusan syariat tersebut. Namun yang diperselisihkan adalah
apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal
itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka.[2]
Seperti firman Allah SWT, dalam surah Al-Maidah : 32
من اجل ذلك كتبنا على بنى اسراّئيل انه من قتل نفسا بغير
نفس اوفساد فىالارض فكأنماقتل الناس جميعا
Artinya :
“Oleh karena itu, kami tetapkan suatu hukum bagi bani
israil bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu
membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka
seakan-aka ia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Al-Maidah
ayat : 32)
Pada ayat di atas
terlihat jelas bahwa Allah SWT menceritakan adanya kewajiban kepada Bani Israil
hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak menjelaskan apakah ketentuan itu
berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu
menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli Usul Fiqh, apakah hal
tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu
terdapat di dalam Al-Qur’an.
Berkaitan dengan masalah
tersebut, Bazdawi mengatakan bahwa syari’at terdahulu yang tidak ditemukan
ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak berlaku bagi umat Islam
sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya. Namun yang populer dari pendapat
ini adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan
syari’at karena ia dituliskan kembali dalam Alqur’an, sehingga ia telah menjadi
syari’at Muhammad.
Asya’irah Mu’tazilah,
Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat
sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat Islam, maka tidak termasuk
syariat Islam. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi,
al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Jumhur
ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berkata
bahwasanya hukum itu adalah syariat kita dan kita wajib mengikutinya dan
menerapkannya, selama telah dikisahkan kepada kita dan didalam syariat kita
tidak ada sesuatu yang menghapuskannya. Karena syariat itu adalah bagian dari
hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah kepada kita melalui lisan para
Rasul-Nya dan tidak ada dalil yang menghapuskannya, maka wajib atas mukallaf
untuk mengikutinya.[3]
3. Macam-macam
Syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qoblana dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu :
a. Syari’at
tedahulu yang terdapat didalam Al-Qur’an atau penjelasan yang disyari’atkan
untuk umat sebelum Nabi Muhammd SAW dijelaskan pula dalam Al-Qur’an atau hadist
nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi
Muhammad. Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am : 146
وَعَلَى
ٱلَّذِينَ هَادُوا۟ حَرَّمْنَا كُلَّ ذِى ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ ٱلْبَقَرِ وَٱلْغَنَمِ
حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَآ إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَآ أَوِ
ٱلْحَوَايَآ
أَوْ مَا ٱخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَٰهُم بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا
لَصَٰدِقُونَ
Artinya :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami
haramkan segala binatang yang berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami
haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat
di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur
dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan
sesungguhnya Kami adalah Maha Benar.”
Ayat ini
tidak berlaku lagi bagi umat Islam karena telah dinaskhkan oleh surah Al-An’am
: 145, yang artinya :
“Katakanlah, “tidak ku dapati didalam
apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang
ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang
mengalir, daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan
atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan
tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”
Adapun
syari’at terdahulu yang menyatakan bahwa apabila pakaian terkena najis, maka
pakaian tersebut tidak dapat disucikan kecuali dengan memotong bagian yang
terkena najis itu. Dan syariat ini telah dihapuskan dan tidak berlaku lagi
untuk umat Nabi Muhammad, karena telah disebutkan dalam Al-Quran surah
Al-Muddassir : 4
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Artinya :
“Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. Al-Muddassir : 4)
b. Hukum-hukum
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadist nabi disyari’atkan untuk umat
sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan
berlaku untuk seterusnya. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 183
c. Hukum-hukum
disebutkan dalam Al-Qur’an atau Hadist nabi dijelaskan berlaku untuk umat
sebelum Nabi Muhammad, namun tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak
ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakhkan. Firman Allah dalam surat
al-Maidah : 45
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ
فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ
بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿المائدة : ٤٥﴾
Artinya :
“Dan Kami telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya,
maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.”
Para
ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu terdahulu yang tidak
tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah tidak berlaku lagi bagi umat Islam.
Pandangan ini menyatakan bahwa kedatangan syariat Islam telah mengakhiri
berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula, para ulama Ushul Fiqh
sepakat bahwa syariat terdahulu yang dicantumkan dalam Al-Quran adalah berlaku
bagi umat Islam apabila ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi
Muhammad SAW. Namun, keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai
syariat sebelum Islam tetapi karena ditetapkan oleh Al-Quran.
4. Hukum dan Kehujjahan Syariat Terdahulu
Sebelum membahas kehujjahan
syariat-syariat terdahulu mengenai keabsahnnya untuk diambil sebagai sumber
hukum Islam. Perlu dikemukakan tiga hal sebagai berikut :
1. Hukum-hukum
dari syariat umat terdahulu tidak bisa diketahui tanpa melalui sumber-sumber
hukum Islam. Maka, penukilan syariat tidak dipandang sah jika tidak disandarkan
pada sumber-sumber tersebut. Sebab yang bisa dijadikan hujjah dalam hukum bagi
kaum muslimin adalah sumber-sumber hukum Islam. Hal ini merupakan kesepakatan
para Ahli Fiqh.
2. Sesuatu
yang telah dinasakhkan berdasarkan dalil hukum Islam, tidak bisa diambil.
Begitu pula apabila terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu ketentuan
hukum berlaku khusus untuk kaum tertentu. Ketentuan itu tidak bisa berlaku kedalam
syariat Islam, seperti diharamkannya bagian-bagian tertentu dari daging sapi
dan kambing bagi Bani Israil. Hal ini juga berdasarkan kesepakatan para Ahli Fiqh.
3.
Suatu hukum yang diakui dalam Islam
sebagaiman halnya diakui dalam Agama-agama terdahulu, status hukumnya adalah
didasarkan dengan nash Islami, bukan dengan hikayat umat terdahulu.