Rabu, 27 Mei 2015

SYAR'U MAN QOBLANA



SYAR’U MAN QOBLANA (SYARI’AT SEBELUM KITA)
1.    Hukum Syari’at Sebelum Kita
Syari’at Man Qoblana adalah syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam) atau syari’at yang telah diturunkan Allah SWT kepada orang-orang yang telah mendahului kita. Apabila Al-Quran atau Sunnah yang shahih menceritakan salah satu hukum syara’ yang telah disyari’atkan kepada umat terdahulu melalui para Rasul kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaiman diwajibkan kepada mereka, maka dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dan tidak ada keraguan lagi bahwa syari’at tersebut ditujukan juga kepada kita dan wajib untuk diikuti, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah : 183

                                  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”
                                                                                                (QS. Al-Baqarah: 183)

Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syari’at yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapuskan untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti syariat Nabi Musa bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya sendiri. Dan jika ada najis yang menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan tersebut dan lain sebagainya.[1]

2.    Pendapat Para Ulama tentang Syariat Sebelum Kita
Para ulama telah menyepakati syariat terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penetapan atau penghapusan syariat tersebut. Namun yang diperselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka.[2] Seperti firman Allah SWT, dalam surah Al-Maidah : 32

من اجل ذلك كتبنا على بنى اسراّئيل انه من قتل نفسا بغير نفس اوفساد فىالارض فكأنماقتل الناس جميعا 

Artinya :
“Oleh karena itu, kami tetapkan suatu hukum bagi bani israil bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-aka ia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Al-Maidah ayat : 32) 

Pada ayat di atas terlihat jelas bahwa Allah SWT menceritakan adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli Usul Fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Al-Qur’an.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Bazdawi mengatakan bahwa syari’at terdahulu yang tidak ditemukan ketegasan pengamalannya bagi umat Islam adalah tidak berlaku bagi umat Islam sampai ditemukannya dalil yang mewajibkannya. Namun yang populer dari pendapat ini adalah tentang anggapannya yang menyatakan bahwa ketentuan itu merupakan syari’at karena ia dituliskan kembali dalam Alqur’an, sehingga ia telah menjadi syari’at Muhammad.
Asya’irah Mu’tazilah, Si’ah dan yang Rajih dari kalangan Syafi’ie mengatakan bahwa syariat umat sebelumnya apabila tidak ditegaskan oleh syariat Islam, maka tidak termasuk syariat Islam. Pendapat mereka ini diambil juga oleh al-Ghazali, al-Amudi, al-Razi, Ibnu Hazm dan kebanyakan para ulama’.
Jumhur ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berkata bahwasanya hukum itu adalah syariat kita dan kita wajib mengikutinya dan menerapkannya, selama telah dikisahkan kepada kita dan didalam syariat kita tidak ada sesuatu yang menghapuskannya. Karena syariat itu adalah bagian dari hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah kepada kita melalui lisan para Rasul-Nya dan tidak ada dalil yang menghapuskannya, maka wajib atas mukallaf untuk mengikutinya.[3]

3.    Macam-macam Syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qoblana dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
a.    Syari’at tedahulu yang terdapat didalam Al-Qur’an atau penjelasan yang disyari’atkan untuk umat sebelum Nabi Muhammd SAW dijelaskan pula dalam Al-Qur’an atau hadist nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad. Firman Allah SWT dalam surat Al-An’am : 146

وَعَلَى ٱلَّذِينَ هَادُوا۟ حَرَّمْنَا كُلَّ ذِى ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ ٱلْبَقَرِ وَٱلْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَآ إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَآ أَوِ
                                                         ٱلْحَوَايَآ أَوْ مَا ٱخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَٰهُم بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَٰدِقُونَ
Artinya :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar.”
Ayat ini tidak berlaku lagi bagi umat Islam karena telah dinaskhkan oleh surah Al-An’am : 145, yang artinya :
“Katakanlah, “tidak ku dapati didalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi, karena semua itu kotor atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barang siapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Adapun syari’at terdahulu yang menyatakan bahwa apabila pakaian terkena najis, maka pakaian tersebut tidak dapat disucikan kecuali dengan memotong bagian yang terkena najis itu. Dan syariat ini telah dihapuskan dan tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad, karena telah disebutkan dalam Al-Quran surah Al-Muddassir : 4
                                                                                                                وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Artinya :
“Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. Al-Muddassir : 4)
b.    Hukum-hukum yang dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadist nabi disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk seterusnya. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 183
c.    Hukum-hukum disebutkan dalam Al-Qur’an atau Hadist nabi  dijelaskan berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakhkan. Firman Allah dalam surat al-Maidah : 45

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿المائدة : ٤٥﴾ 

Artinya :
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Pandangan ini menyatakan bahwa kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula, para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat terdahulu yang dicantumkan dalam Al-Quran adalah berlaku bagi umat Islam apabila ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Namun, keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena ditetapkan oleh Al-Quran.

4.    Hukum dan Kehujjahan Syariat Terdahulu
Sebelum membahas kehujjahan syariat-syariat terdahulu mengenai keabsahnnya untuk diambil sebagai sumber hukum Islam. Perlu dikemukakan tiga hal sebagai berikut :
1.    Hukum-hukum dari syariat umat terdahulu tidak bisa diketahui tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam. Maka, penukilan syariat tidak dipandang sah jika tidak disandarkan pada sumber-sumber tersebut. Sebab yang bisa dijadikan hujjah dalam hukum bagi kaum muslimin adalah sumber-sumber hukum Islam. Hal ini merupakan kesepakatan para Ahli Fiqh. 
2.    Sesuatu yang telah dinasakhkan berdasarkan dalil hukum Islam, tidak bisa diambil. Begitu pula apabila terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu ketentuan hukum berlaku khusus untuk kaum tertentu. Ketentuan itu tidak bisa berlaku kedalam syariat Islam, seperti diharamkannya bagian-bagian tertentu dari daging sapi dan kambing bagi Bani Israil. Hal ini juga berdasarkan kesepakatan para Ahli Fiqh. 
3.    Suatu hukum yang diakui dalam Islam sebagaiman halnya diakui dalam Agama-agama terdahulu, status hukumnya adalah didasarkan dengan nash Islami, bukan dengan hikayat umat terdahulu.


[1] Rachmat syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqih, hal. 144.
[2] Ibid,.
[3] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu ushul Fiqh, hal. 132.